(Telaah Kritis Difersifikasi Penentuan Awal Ramadhan & Syawwal Di Indonesia)
Disampaikan Saat Public Discussion di UNESS (Ahad, 15 Juni 2014)
Oleh : M. Ihtirozun Ni’am
Beberapa
tahun terakhir ini permulaan awal Ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia sering
kali mengalami perbedaan. Pada tahun 2012, Pemerintah melalui Menteri Agama
menetapkan awal Ramadhan tahun 1433 H jatuh pada hari Sabtu Legi (21 Juli
2012). Keputusan ini sama dengan apa yang ditetapkan ormas NU, kelompok aboge,
Thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah (Jombang) dan Thariqat Syatariyah (Medan).
Sementara itu, Hizbut Tahrir yang memakai metode Rukyah Global memutuskan awal
Ramadhan jatuh pada hari Jum’at Kliwon (20 Juli 2012). Hal ini karena di bagian
belahan bumi yang lainnya hilal dapat teramati meskipun di Indonesia tidak
dapat dilihat (rukyah). Hal serupa juga diputuskan oleh Muhammadiyyah.
Karena pada tanggal 29 Sya’ban 1433 H tinggi hilal sudah mencapain 1° 15’ 03”,
maka awal Ramadhan ditetapkan jatuh pada hari Jum’at. Sedangka Jama’ah
An-Nadzir menetapkan awal ramadhan pada hari Kamis (19 Juli 2012), 2 hari
sebelum ketetapan pemerintah.
Pada
awal Syawwal 1433 H, Pemerintah, NU dan Muhammadiyah menetapkan awal Syawwal
pada hari yang sama, yakni hari Sabtu, tanggal 18 Agustus 2012. Namun, kelompok
aboge menetapkannya pada hari yang berbeda, yakni hari Senin, 20 Agustus 2012.
Sementara itu, Thariqat Naqsabandiyah (Padang) dan An-Nadzir menentukan awal
Syawwal pada hari Jum’at (17 Agustus 2012), dan HTI menetapkannya pada hari
Ahad (19 Agustus 2012).
Pada
tahun 2013, saat memulai awal Ramadhan 1434 H juga terjadi perbedaan diantara
golongan-golongan yang ada di Indonesia. Pemerintah, NU dan HTI pada waktu itu menetapkan awal Ramadhan jatuh
pada hari Rabu, 10 Juli 2013. Golongan An-Nadzir menetapkan awal Ramadhan pada
hari Senin, 8 Juli 2013, Golongan Aboge pada hari Sabtu (6 Juli 2013) dan
Muhammadiyah pada hari Selasa (9 Juli 2013).
Pada
awal Syawwal 1434 H, Pemerintah, NU, Muhammadiyah dan HTI menetapkan awal
Syawwal 1434 bersamaan, yakni hari Kamis (8 Agustus 2013) . Namun An-Nadzir dan
Thariqat Naqsabandiyah (Padang) menetapkan awal Syawwal jatuh pada hari Selasa
(6 Agustus 2013). Aboge, Thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah (Jombang) dan
Syatariyah (Medan) menetapkannya pada
hari Jum’at (9 Agustus 2013).
Yang
perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa perbedaan awal bulan Ramadhan atau
Syawwal di Indonesia tidak semata-mata antara Pemerintah dengan NU atau pun dengan
Muhammadiyyah. Namun ada beberapa golongan/kelompok lain yang seringkali
menentukan awal Ramadhan atau pun Syawwal-nya berbeda dengan pemerintah
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Lantas, apa sebenarnya yang
menjadikan ada banyaknya perbedaan penentuan awal Ramadhan/Syawwal di
Indonesia?
Bila ditelaah lebih lanjut, ada beberapa hal yang
mendasari kenapa terjadi perbedaan awal Ramadhan atau Syawwal di Indonesia,
diantaranya :
1. Tidak adanya
otoritas tunggal yang disepakati oleh semua masyarakat Indonesia sebagai
penentu jatuhnya awal bulan Ramadhan dan Syawwal.
Meskipun sudah ada Menteri
Agama yang seharusnya menjadi penentu awal bulan Ramadhan/Syawwal, namun di
luar masih ada banyak kelompok/golongan yang menentukan awal Ramadhan/Syawwal
dengan cara/metodenya sendiri, tidak menyerahkan sepenuhnya kepada Menteri
Agama.
2. Banyak
kelompok/golongan yang mempunyai metode/kriteria tersendiri dalam menentukan
awal bulan Ramadhan/Syawwal.
Setidaknya, ada 7 jenis metode/kriteria yang
dipakai dalam penentuan awal Ramadhan/Syawwal di Indonesia yang akan
disampaikan penulis dalam tulisan ini.
a. Rukyah Fi Wilayatil Hukmi (Rukyah Dalam Satu Negara)
Metode
Rukyah Fi Wilayatil Hukmi ini dipakai oleh golongan NU dalam menetapkan awal
Ramadhan/Syawwal. Hal ini didasari oleh interpretasi mereka terhadap hadist :
صوموا
لرؤيته و أفطروا لرؤيته فاءن غمّى عليكم فأكملواعدّة شعبان ثلاثين يوما.
(Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbuka(idul
fitri)lah kalian karena melihat hilal, bila hilal tertutup mendung, maka sempurnakanlah
bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari)
“Rukyatihi”
dalam hadist ini oleh golongan NU diartikan sebagai rukyah bil ‘ain (melihat).
Jadi, bulan puasa atau idul fitri akan dimulai ketika hilal sudah terlihat.
Bila hilal tertutup mendung, tidak berhasil dilihat baik dengan mata telanjang
atau pun dengan bantuan alat lainnya, maka bilangan bulan Sya’ban disempurnakan
menjadi 30 hari.
Dalam hal ini, rukyah yang dijadikan
pertimbangan NU adalah rukyah fi wilayatil hukmi (dalam satu wilayah hukum).
Jadi, hasil rukyah yang dijadikan patokan adalah hasil rukyah di Indonesia,
bukan hasil rukyah dari negara lain, seperti Arab Saudi. Apabila dari upaya
rukyatul hilal di seluruh daerah di Indonesia menyatakan bahwa hilal tidak
berhasil dilihat, maka keesokan harinya masih menggenapkan bilangan bulan
Sya’ban menjadi 30 hari, meskipun pada waktu itu hilal di Arab Saudi sudah bisa
terlihat.
Prinsip dasar yang pakai dalam hal
ini adalah bahwa ibadah itu berkaitan dengan dimensi ruang. Bila di Indonesia
sudah masuk waktunya shalat ashar, di Arab saudi masih belum masuk waktu shalat
ashar, bahkan masih belum masuk waktu dhuhur. Artinya, orang muslim yang berada
di Indonesia sudah dikenai kewajiban melakukan shalat ashar, namun tidak
demikian dengan orang muslim yang berada di Arab Saudi. Orang muslim yang
berada di Arab Saudi masih belum dikenai kewajiban melakukan shalat ashar,
bahkan shalat dhuhur.
b. Rukyah Global (Internasional)
Berbeda
dengan metode rukyah fi wilaytil hukmi yang dipakai oleh NU, Hizbu Tahrir
Indonesia (HTI) memakai rukyah Global (Internasional). Artinya, hasil rukyah
yang dijadikan pertimbangan penentuan awal bulan Ramadhan/Idul Fitri tidak
hanya hasil rukyah dari Indonesia, melainkan juga dari negara-negara lainnya,
seperti Arab Saudi. Bila dari hasil pengamatan hilal di Indonesia tidak satupun
yang berhasil melihat hilal, namun di Arab Saudi berhasil meihat hilal, maka
keesokan harinya ditetapkan sebagai awal bulan Ramadhan/Syawwal. Hal ini
sebagaimana yang terjadi pada waktu mengawali bulan Ramadhan tahun 1433 H (2012
M).
c. Rukyah Dengan Mata Telanjang
Metode
rukyah dengan mata telanjang ini dipakai oleh thariqah Syatariyah (di Medan).
Mereka tidak mau menerima kesaksian hilal yang diperoleh dari hasil rukyah
memakai alat bantu, semisal theodolit atau pun teleskop. Mereka hanya mau
menerima hasil rukyah dengan mata telanjang. Implikasinya, ketika rukyah yang
dilakukan dengan bantuan alat berhasil melihat hilal sedangkan rukyah yang
dengan mata telanjang tidak berhasil melihat hilal, maka mereka menggenapkan
hari pada bulan Sya’ban/Ramadhan sebanyak 30 hari. Ini sebagaimana yang terjadi
pada awal Syawwal 1434 H. Pada waktu itu, karena mereka tidak bisa melihat
hilal dengan mata telanjang, mereka menentukan awal bulan Syawwal 1434 H jatuh
pada hari Jum’at (9 Agustus 2013), satu hari setelah ketetapan pemerintah.
d. Hisab Wujudul Hilal
Metode
hisab wujudul hilal ini dipakai oleh kelompok Muhammadiyah. Bagi mereka, dalam
menentukan awal bulan Ramadhan/Syawwal tidaklah harus rukyah terlebih dahulu. Tapi
cukup dengan melakukan perhitungan (hisab). Bila dari hasil perhitungan
diketahui bahwa tinggi hilal sudah lebih dari 0°, maka mereka menentukan bahwa
keesokan harinya sudah masuk bulan Ramadhan/Syawwal. Dalam hal ini mereka
memakai landasan dalil :
(يونس :5) هُوَ
الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا
عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Dia-lah
yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)
(Q.S. Yunus :5) .
Dari
ayat ini, mereka menafsiri bahwa bilangan tahun dan waktu dapat diketahui
dengan memperhitungkan perjalanan bulan.
Mengenai hadist shumu lirukyatihi,
mereka mempunyai penafsiran yang berbeda terhadap apa yang dimaksud dengan
rukyah dalam konteks hadist itu. Rukyah di situ tidak diartikan sebagai rukyah
bil fi’li, melainkan diartikan sebagai rukyah bil ‘ilmi.
Sebenarnya, hisab (perhitungan) tidak
hanya dipakai oleh kelompok Muhammadiyah saja, kelompok yang memakai metode
rukyah pun juga melakukan perhitungan (hisab) terlebih dahulu sebelum melakukan
rukyat, sehingga mereka mengetahui berapa ketinggian hilal dihitung dari ufuk,
dimana posisi hilal, berapa lama hilal di atas ufuk, dsb. Hanya saja di sini
hisab tidak dijadikan penentu jatuhnya awal bulan. Hisab hanya dipakai sebagai
instrumen yang membantu pelaksanaan rukyatul hilal.
Sementara itu, selama ini fenomena yang
terjadi di Indonesia hilal bisa dilihat bila sudah mencapai ketinggian
setidaknya 2° lebih. Hal ini menjadi sebuah persoalan tersendiri jikalau
ketinggian hilal sudah lebih dari 0° tetapi belum mencapai 2°. Golongan hisab
wujudul hilal akan menetapkan keesokan harinya sudah masuk awal
Ramadhan/Syawwal namun tidak demikian dengan golongan imkanur rukyah MABIMS
yang dalam hal ini dipakai oleh pemerintah. Sehingga akan terjadi perbedaan
dalam situasi seperti ini . Sebagaimana yang terjadi pada awal Ramadhan tahun
1433 H (2012 M) dan tahun 1434 H (2013 M). Pada waktu itu, karena pada hari
senin (8 Juli 2013) ketinggian hilal sudah mencapai 0° 13’ 36” maka
Muhammadiyah menetapkan awal Ramadhan jatuh pada hari Selasa. Sedangkan
Pemerintah menetapkannya pada hari Rabu.
e. Hisab Aboge
Aboge
merupakan kepanjangan dari kata alif rabo wage. Maksudnya, pada tahun alif,
tanggal 1 Suro (Muharrom) jatuh pada hari rabu wage. Pada dasarnya dalam
perhitungan memakai sistem ini, 1 siklus terdapat 8 tahun, yakni tahun alif,
ehe, jimawal, je, dal, ba’, wawu dan jimakhir. Cara mengetahui tahun
itu jenis dari tahun apa adalah dengan menambahkan tahun hijriyah dengan 512,
kemudian dibagi dengan 8, sisanya itulah yang dijadikan patokan dalam
menentukan jenis tahun. Bila sisa tahunnya :
0/8 à berarti tahun Ba, yaitu 1 Suro jatuh pada hari Rabu Kliwon;
1 à berarti tahun Wawu, yaitu 1 Suro jatuh pada hari Ahad Wage;
2 à berarti tahun Jim Akhir, yaitu 1 Suro jatuh pada hari Kamis Pon;
3 à berarti tahun Alip, yaitu 1 Suro jatuh pada hari Selasa Pon;
4 à berarti tahun Ehe, yaitu 1 Suro jatuh pada hari Sabtu Pahing;
5 à berarti tahun Jim Awal, yaitu 1 Suro jatuh pada hari Kamis Pahing;
6 à berarti tahun Ye, yaitu 1 suro jatuh pada hari Senin Legi;
7 à berarti tahun Dal,
yaitu 1 Suro jatuh pada hari Sabtu Legi.
Karena
perhitungan yang dipakai bersifat ‘urfi/aritmatik dan sudah ditentukan
banyaknya hari tiap bulannya, yakni 30 hari bila bulannya ganjil dan 29 hari
bila bulannya genap, maka terkadang penentuan awal bulan Ramadhan/Syawwal
mereka bersamaan dengan pemerintah dan terkadang juga berbeda sebagaimana pada
penentuan awal bulan Syawwal 1434 H. Pemerintah menetapkan tanggal 1 Syawwal
jatuh pada hari Kamis, sedangkan mereka menetapkannya jatuh pada hari Jum’at (9
Agustus 2013).
Untuk
awal Ramadhan 1435 H ini ketetapan awal Ramadhan mereka diperkirakan juga akan
berbeda dengan Pemerintah. Pemerintah akan memulainya pada hari Ahad, sedangkan
golongan aboge akan memulai puasa pada hari Senin Kliwon (30 Juni 2014).
f. Hisab Asapon
Hisab
asapon ini merupakan kepanjangan dari kata alif seloso pon. Maksudnya, pada
tahun alif, tanggal 1 suro (Muharrom) jatuh pada hari Selasa dengan pasaran
pon. Secara garis besar, sistem perhitungan (hisab) yang dipakai oleh golongan
asapon tidak jauh berbeda dengan sistem perhitungan yang dipakai oleh Aboge.
Hanya saja, bedanya hisab asapon sudah memperhitungkan koreksi pembulatan
gerakan bulan, sedangkan aboge tidak.
Pada
tahun ini, diperkirakan golongan asapon
akan memulai bulan Ramadhan sama dengan pemerintah. Karena tahun ini merupakan
tahun alif yang berarti tanggal 1 suro jatuh pada hari Selasa Pon. Dan bila
diurutkan dengan sistem perhitungan ini, awal Ramadhan akan jatuh pada hari
Ahad wage (29 Juni 2014).
g. Imkanur rukyah MABIMS
Imkanur
rukyah (kemungkinan hilal bisa dilihat) sebenarnya merupakan metode yang
mencoba menggabungkan antara metode rukyah an sich dengan hisab an
sich. Imkanur rukyah memperhitungkan kondisi keberadaan hilal yang bisa
dilihat, tidak hanya hilal yang sudah ada (wujud). Kriteria yang dipakai dalam
menentukan apakah hilal sudah memungkinkan untuk dilihat atau tidak didasarkan
pada hasil pengamatan hilal beratus-ratus kali sehingga dapat diformulasikan
suatu kriteria.
Untuk
kriteria imkanur rukyah MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan
Singapura) sendiri, kriteria yang dipakai yakni :
1. Tinggi hilal
minimal 20
2. Sudut
elongasi minimal 30
3.
Umur bulan dihitung dari ijtimak minimal 8 jam.
Jadi,
bila tinggi hilal lebih dari 2°, sudut elongasi lebih dari 3° dan umur bulan
lebih dari 8 jam, kemungkinan besar hilal pada posisi itu bisa dilihat. Hal ini
sebagaimana kesaksian hilal
bulan Syawal
1404
H. Pada tanggal 29
Juni 1984, ketinggian
hilal 20
dan ijtima’ terjadi pukul
10.18 WIB. Pada saat
itu, hilal dapat dilihat oleh:
1.
Muhammad Arief, 33 tahun. Panitera Pengadilan Agama
Pare-pare.
2.
Muhadir, 30 tahun. Bendahara Pengadilan Pare-pare.
3.
H. Abdul Hamid, 56 tahun, Guru Agama Jakarta.
4.
H. Abdullah, 61 tahun, Guru Agama Jakarta.
5.
K. Ma’mur, 55 tahun, Guru Agama Sukabumi.
6.
Endang Effendi, 45 tahun, Hakim Agama Sukabumi.
3. Perbedaan
dalam memahami hadis dan nash Qur’an juga
menjadi sebab terjadinya perbedaan penentuan awal bulan.
Hadist
shumu lirukyatihi dipahami oleh golongan NU untuk melakukan rukyah bil
fi’li dalam satu wilayah hukum. Namun bagi Muhammadiyyah hadist itu dipahami
sebagai rukyah bil ‘ilmi. Dan bagi Hizbut Tahrir Indonesia, hadist
tersebut dipahami sebagai Rukyah global, yang mana kesaksian melihat hilal di
negara manapun bisa dijadikan patokan penentu awal bulan di negara lainnya.
4.
Kran demokrasi di Indonesia yang dibuka
terlalu lebar.
Sebelum
era reformasi, tidak banyak ditemukan kasus perbedaan awal Ramadhan atau pun
Syawwal di Indonesia. Namun, setelah memasuki era reformasi dan memakai sistem
demokrasi, banyak terjadi kasus perbedaan penentuan awal Ramadhan/Syawwal. Ini
karena setiap individu/kelompok mempunyai kesempatan untuk menentukan awal
Ramadhan/Syawwal dengan metodenya sendiri.
Fenomena
Awal Ramadhan & Syawwal 1435 H Dari Prespektif Astronomis
Dari hasil perhitungan untuk awal
bulan Ramadhan 1435 H, didapatkan hasil bahwa :
1.
Ijtima’ terjadi pada hari Jum’at
Pahing (27 Juni 2014) pukul 15:09:35 WIB,
2.
Tinggi hilal mencapai 0° 2’ 17”,
3.
Kedudukan hilal berada 4° 39’ 39” di sebelah selatan Matahari,
4.
Lama hilal di atas ufuk selama 0°
2’ 32”
Dengan
demikian, karena tinggi hilal sudah lebih dari 0° namun belum mencapai 2°, maka
kemungkinan besar akan terjadi perbedaan antara ketetapan pemerintah dan
Muhammadiyah. Muhammadiyah akan memulai puasa pada hari Sabtu, sedangkan
Pemerintah akan memulai puasa pada hari Ahad. Adapun golongan aboge akan memulai
puasa pada hari Senin Kliwon (30 Juni 2014).
Pada
awal bulan Syawwal 1435 H, berdasarkan hasil perhitungan didapatkan hasil bahwa
:
1.
Ijtima’ terjadi pada hari Ahad
Pahing, 27 Juli 2014 pukul 05:42:55 WIB,
2.
Tinggi hilal mencapai 3° 2’ 27”,
3.
Kedudukan hilal berada 5° 28’ 37”
di sebelah selatan Maatahari,
4.
Lama hilal di atas ufuk 0j 16m
42d