Yang
Faham Yang Bicara (Edisi Editan)
M.
Ihtirozun Ni’am
Beretika
Dalam Berpolitik
Memang
telah disadari bahwa dewasa ini politik menjadi sebuah kebutuan untuk amar
ma’ruf nahi munkar. Al-qur’an sendiri melegalkan hal tersebut karena pada
dasarnya orang islam adalah penolong bagi yang lain. Menyeru kepada kebaikan
dan melarang akan keburukan merupakan sebuah pertolongan dalam kasus ini. Dalam
surat At-Taubah ayat 71 disebutkan:
Wa
al-mu’minu wa al-mu’minatu ba’dhuhum auliyaa’u ba’dh ya’muruuna bi al-ma’ruufi
wa yanhauna ‘ani al-munkari wa yuqiimuna as-sholaata wa yu’tuuna az-zakaata wa
yuthiiuuna Allaha wa rasuulahu, ulaaika sayarhamuhumu Allahu, inna Allaha
‘aziizun hakiim
(Dan orang-orang mu’min lelaki dan perempuan, sebagian dari mereka itu
adalah penolong bagi yang lain. Mereka menyuruh untuk (mengerjakan) hal-hal
yang baik, mencegah dari yang perbuatan yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana).
Meskipun begitu, berpolitik berarti juga
bersosial. Maka dari itu sangatlah tidak dibenarkan apabila hanya karena
politik, perbuatan apapun bisa dihalalkan, termasuk juga berbuat kemunkaran
dengan menyebar fitnah dan menjatuhkan lawan saingnya dengan segala cara tanpa
memperhatikan nilai-nilai etika yang telah diteladakan oleh Rasulullah SAW.
Rasul
Sebagai Teladan Dalam Menjalani Kehidupan Di Dunia
Padahal rasul sebagai uswah hasanah
tidak pernah melakukan hal tersebut dalam rangka bersosial dan menyebarkan
ajaran agama islam. Meskipun begitu upaya beliau bisa berhasil. Islam bisa
berhasil diterima oleh umat madinah pada waktu itu dan kembali ke Makkah dengan penuh kedamaian. Beliau juga sempat
mengungkapkan bahwa apabila ada orang islam yang memerangi orang kafir
dzimmi, maka beliau sendirilah musuhnya. Itulah etika dalam bersosial
beliau dengan orang yang tidak segolongan dengan beliau. Etika sosok yang
ditetapkan al-Qur’an sebagai uswah hasanah (teladan yang baik). Laqad
kaana lakum fii rasuulillahi uswatun hasanatun liman kaana yarju Allaha
katsiira wa dzakara Allaha katsiira (Telah ada teladan yang baik bagi kamu
sekalian dalam diri Rasulullah SAW bagi orang yang banyak mengharapkan Allah dan banyak mengingat
Allah)
Lebih Baik Diam Dan
Menyerahkan Urusan Kepada Ahlinya/Pihak Yang Faham Dan Berwenang
“Man
aamana bi Allahi wa al-yaumi al-akhiri falyaqul khoiran au liyashmutu”. (Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah berkata dengan
kata-kata yang baik atau diam). Inilah hal yang
diperintahkan Rasulullah SAW 14 abad yang lalu. Penulis merasa hal ini masih
cukup relevan sampai saat ini sebagai upaya untuk menjaga hubungan sosial dalam
bermasyarakat.
Namun
kayaknya ajaran itu sudah mulai ditinggalkan karena tuntutan-tuntutan politik
dan perebutan pengaruh. Inilah hal yang tidak bisa kita pungkiri ketika melihat
fenomena pengklaiman Gus Dur sebagai seorang koruptor oleh Habib Muhsin. Pertanyaannya
kemudian pantaskah hal ini dilakukan oleh seorang mu’min? Menuduh seseorang
tanpa adanya bukti? Fakta pun telah membuktikan bahwa gus dur tidaklah lengser
karena korupsi, melainkan lengser karena politik pada saat itu, setelah beliau mencabut
Jenderal (Pol) R. Suroyo Bimantoro tanpa konsultasi kepada DPR.
Penulis
menganggap bahwa perbuatan yang demikian itu hanya akan memecah belah umat
islam sendiri. Di samping juga menyulut pergeseketaan antara kelompok yang ada.
Maka dari itu penulis menilai bahwa diamlah jalan yang terbaik. Dan lebih baik
lagi bila mengembalikan urusan tersebut kepada pihak yang berwenang dan lebih
memahami persoalannya dari pada memberi komentar dengan pengetahuan yang
dangkal. Ingat, Idza wusida al-amru ghoira ahlihi fantadziri as-sa’ah
(Ketika suatu permaslah diserahkan pada orang yang bukah ahlinya, maka
tunggulah saat kehancurannya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar