ASTRONOMI

SEMESTER I

Senin, 03 Desember 2012

Yang Faham Yang Bicara (Edisi Editan)


Yang Faham Yang Bicara (Edisi Editan)
M. Ihtirozun Ni’am
Beretika Dalam Berpolitik
Memang telah disadari bahwa dewasa ini politik menjadi sebuah kebutuan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Al-qur’an sendiri melegalkan hal tersebut karena pada dasarnya orang islam adalah penolong bagi yang lain. Menyeru kepada kebaikan dan melarang akan keburukan merupakan sebuah pertolongan dalam kasus ini. Dalam surat At-Taubah ayat 71 disebutkan:
Wa al-mu’minu wa al-mu’minatu ba’dhuhum auliyaa’u ba’dh ya’muruuna bi al-ma’ruufi wa yanhauna ‘ani al-munkari wa yuqiimuna as-sholaata wa yu’tuuna az-zakaata wa yuthiiuuna Allaha wa rasuulahu, ulaaika sayarhamuhumu Allahu, inna Allaha ‘aziizun hakiim
(Dan orang-orang mu’min lelaki dan perempuan, sebagian dari mereka itu adalah penolong bagi yang lain. Mereka menyuruh untuk (mengerjakan) hal-hal yang baik, mencegah dari yang perbuatan yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana).
Meskipun begitu, berpolitik berarti juga bersosial. Maka dari itu sangatlah tidak dibenarkan apabila hanya karena politik, perbuatan apapun bisa dihalalkan, termasuk juga berbuat kemunkaran dengan menyebar fitnah dan menjatuhkan lawan saingnya dengan segala cara tanpa memperhatikan nilai-nilai etika yang telah diteladakan oleh Rasulullah SAW.
Rasul Sebagai Teladan Dalam Menjalani Kehidupan Di Dunia
Padahal rasul sebagai uswah hasanah tidak pernah melakukan hal tersebut dalam rangka bersosial dan menyebarkan ajaran agama islam. Meskipun begitu upaya beliau bisa berhasil. Islam bisa berhasil diterima oleh umat madinah pada waktu itu dan kembali ke Makkah  dengan penuh kedamaian. Beliau juga sempat mengungkapkan bahwa apabila ada orang islam yang memerangi orang kafir dzimmi, maka beliau sendirilah musuhnya. Itulah etika dalam bersosial beliau dengan orang yang tidak segolongan dengan beliau. Etika sosok yang ditetapkan al-Qur’an sebagai uswah hasanah (teladan yang baik). Laqad kaana lakum fii rasuulillahi uswatun hasanatun liman kaana yarju Allaha katsiira wa dzakara Allaha katsiira (Telah ada teladan yang baik bagi kamu sekalian dalam diri Rasulullah SAW bagi orang yang banyak  mengharapkan Allah dan banyak mengingat Allah)
Lebih Baik Diam Dan Menyerahkan Urusan Kepada Ahlinya/Pihak Yang Faham Dan Berwenang
“Man aamana bi Allahi wa al-yaumi al-akhiri falyaqul khoiran au liyashmutu”. (Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah berkata dengan kata-kata yang baik atau diam). Inilah hal yang diperintahkan Rasulullah SAW 14 abad yang lalu. Penulis merasa hal ini masih cukup relevan sampai saat ini sebagai upaya untuk menjaga hubungan sosial dalam bermasyarakat.
Namun kayaknya ajaran itu sudah mulai ditinggalkan karena tuntutan-tuntutan politik dan perebutan pengaruh. Inilah hal yang tidak bisa kita pungkiri ketika melihat fenomena pengklaiman Gus Dur sebagai seorang koruptor oleh Habib Muhsin. Pertanyaannya kemudian pantaskah hal ini dilakukan oleh seorang mu’min? Menuduh seseorang tanpa adanya bukti? Fakta pun telah membuktikan bahwa gus dur tidaklah lengser karena korupsi, melainkan lengser karena  politik pada saat itu, setelah beliau mencabut Jenderal (Pol) R. Suroyo Bimantoro tanpa konsultasi kepada DPR.
Penulis menganggap bahwa perbuatan yang demikian itu hanya akan memecah belah umat islam sendiri. Di samping juga menyulut pergeseketaan antara kelompok yang ada. Maka dari itu penulis menilai bahwa diamlah jalan yang terbaik. Dan lebih baik lagi bila mengembalikan urusan tersebut kepada pihak yang berwenang dan lebih memahami persoalannya dari pada memberi komentar dengan pengetahuan yang dangkal. Ingat, Idza wusida al-amru ghoira ahlihi fantadziri as-sa’ah (Ketika suatu permaslah diserahkan pada orang yang bukah ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar