ASTRONOMI

SEMESTER I

Kamis, 26 Juni 2014

Mengapa Ramadhan & Idul Fitri Kita Sering Berbeda?



 (Telaah Kritis Difersifikasi Penentuan Awal Ramadhan & Syawwal Di Indonesia)

 Disampaikan Saat Public Discussion di UNESS (Ahad, 15 Juni 2014) 
Oleh : M. Ihtirozun Ni’am

Beberapa tahun terakhir ini permulaan awal Ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia sering kali mengalami perbedaan. Pada tahun 2012, Pemerintah melalui Menteri Agama menetapkan awal Ramadhan tahun 1433 H jatuh pada hari Sabtu Legi (21 Juli 2012). Keputusan ini sama dengan apa yang ditetapkan ormas NU, kelompok aboge, Thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah (Jombang) dan Thariqat Syatariyah (Medan). Sementara itu, Hizbut Tahrir yang memakai metode Rukyah Global memutuskan awal Ramadhan jatuh pada hari Jum’at Kliwon (20 Juli 2012). Hal ini karena di bagian belahan bumi yang lainnya hilal dapat teramati meskipun di Indonesia tidak dapat dilihat (rukyah). Hal serupa juga diputuskan oleh Muhammadiyyah. Karena pada tanggal 29 Sya’ban 1433 H tinggi hilal sudah mencapain 1° 15’ 03”, maka awal Ramadhan ditetapkan jatuh pada hari Jum’at. Sedangka Jama’ah An-Nadzir menetapkan awal ramadhan pada hari Kamis (19 Juli 2012), 2 hari sebelum ketetapan pemerintah.      
Pada awal Syawwal 1433 H, Pemerintah, NU dan Muhammadiyah menetapkan awal Syawwal pada hari yang sama, yakni hari Sabtu, tanggal 18 Agustus 2012. Namun, kelompok aboge menetapkannya pada hari yang berbeda, yakni hari Senin, 20 Agustus 2012. Sementara itu, Thariqat Naqsabandiyah (Padang) dan An-Nadzir menentukan awal Syawwal pada hari Jum’at (17 Agustus 2012), dan HTI menetapkannya pada hari Ahad (19 Agustus 2012).
Pada tahun 2013, saat memulai awal Ramadhan 1434 H juga terjadi perbedaan diantara golongan-golongan yang ada di Indonesia. Pemerintah, NU dan HTI  pada waktu itu menetapkan awal Ramadhan jatuh pada hari Rabu, 10 Juli 2013. Golongan An-Nadzir menetapkan awal Ramadhan pada hari Senin, 8 Juli 2013, Golongan Aboge pada hari Sabtu (6 Juli 2013) dan Muhammadiyah pada hari Selasa (9 Juli 2013).
Pada awal Syawwal 1434 H, Pemerintah, NU, Muhammadiyah dan HTI menetapkan awal Syawwal 1434 bersamaan, yakni hari Kamis (8 Agustus 2013) . Namun An-Nadzir dan Thariqat Naqsabandiyah (Padang) menetapkan awal Syawwal jatuh pada hari Selasa (6 Agustus 2013). Aboge, Thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah (Jombang) dan Syatariyah (Medan)  menetapkannya pada hari Jum’at (9 Agustus 2013).
Yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa perbedaan awal bulan Ramadhan atau Syawwal di Indonesia tidak semata-mata antara Pemerintah dengan NU atau pun dengan Muhammadiyyah. Namun ada beberapa golongan/kelompok lain yang seringkali menentukan awal Ramadhan atau pun Syawwal-nya berbeda dengan pemerintah sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Lantas, apa sebenarnya yang menjadikan ada banyaknya perbedaan penentuan awal Ramadhan/Syawwal di Indonesia?
            Bila ditelaah lebih lanjut, ada beberapa hal yang mendasari kenapa terjadi perbedaan awal Ramadhan atau Syawwal di Indonesia, diantaranya :
1.     Tidak adanya otoritas tunggal yang disepakati oleh semua masyarakat Indonesia sebagai penentu jatuhnya awal bulan Ramadhan dan Syawwal. 
   Meskipun sudah ada Menteri Agama yang seharusnya menjadi penentu awal bulan Ramadhan/Syawwal, namun di luar masih ada banyak kelompok/golongan yang menentukan awal Ramadhan/Syawwal dengan cara/metodenya sendiri, tidak menyerahkan sepenuhnya kepada Menteri Agama.
2.    Banyak kelompok/golongan yang mempunyai metode/kriteria tersendiri dalam menentukan awal bulan Ramadhan/Syawwal. 
       Setidaknya, ada 7 jenis metode/kriteria yang dipakai dalam penentuan awal Ramadhan/Syawwal di Indonesia yang akan disampaikan penulis dalam tulisan ini. 

a.      Rukyah Fi Wilayatil Hukmi (Rukyah Dalam Satu Negara)
Metode Rukyah Fi Wilayatil Hukmi ini dipakai oleh golongan NU dalam menetapkan awal Ramadhan/Syawwal. Hal ini didasari oleh interpretasi mereka terhadap hadist :
صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته فاءن غمّى عليكم فأكملواعدّة شعبان ثلاثين يوما.
(Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbuka(idul fitri)lah kalian karena melihat hilal, bila hilal tertutup mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari)
“Rukyatihi” dalam hadist ini oleh golongan NU diartikan sebagai rukyah bil ‘ain (melihat). Jadi, bulan puasa atau idul fitri akan dimulai ketika hilal sudah terlihat. Bila hilal tertutup mendung, tidak berhasil dilihat baik dengan mata telanjang atau pun dengan bantuan alat lainnya, maka bilangan bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.
           Dalam hal ini, rukyah yang dijadikan pertimbangan NU adalah rukyah fi wilayatil hukmi (dalam satu wilayah hukum). Jadi, hasil rukyah yang dijadikan patokan adalah hasil rukyah di Indonesia, bukan hasil rukyah dari negara lain, seperti Arab Saudi. Apabila dari upaya rukyatul hilal di seluruh daerah di Indonesia menyatakan bahwa hilal tidak berhasil dilihat, maka keesokan harinya masih menggenapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, meskipun pada waktu itu hilal di Arab Saudi sudah bisa terlihat.   
           Prinsip dasar yang pakai dalam hal ini adalah bahwa ibadah itu berkaitan dengan dimensi ruang. Bila di Indonesia sudah masuk waktunya shalat ashar, di Arab saudi masih belum masuk waktu shalat ashar, bahkan masih belum masuk waktu dhuhur. Artinya, orang muslim yang berada di Indonesia sudah dikenai kewajiban melakukan shalat ashar, namun tidak demikian dengan orang muslim yang berada di Arab Saudi. Orang muslim yang berada di Arab Saudi masih belum dikenai kewajiban melakukan shalat ashar, bahkan shalat dhuhur.  
b.      Rukyah Global (Internasional)
Berbeda dengan metode rukyah fi wilaytil hukmi yang dipakai oleh NU, Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) memakai rukyah Global (Internasional). Artinya, hasil rukyah yang dijadikan pertimbangan penentuan awal bulan Ramadhan/Idul Fitri tidak hanya hasil rukyah dari Indonesia, melainkan juga dari negara-negara lainnya, seperti Arab Saudi. Bila dari hasil pengamatan hilal di Indonesia tidak satupun yang berhasil melihat hilal, namun di Arab Saudi berhasil meihat hilal, maka keesokan harinya ditetapkan sebagai awal bulan Ramadhan/Syawwal. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada waktu mengawali bulan Ramadhan tahun 1433 H (2012 M). 

c.       Rukyah Dengan Mata Telanjang
Metode rukyah dengan mata telanjang ini dipakai oleh thariqah Syatariyah (di Medan). Mereka tidak mau menerima kesaksian hilal yang diperoleh dari hasil rukyah memakai alat bantu, semisal theodolit atau pun teleskop. Mereka hanya mau menerima hasil rukyah dengan mata telanjang. Implikasinya, ketika rukyah yang dilakukan dengan bantuan alat berhasil melihat hilal sedangkan rukyah yang dengan mata telanjang tidak berhasil melihat hilal, maka mereka menggenapkan hari pada bulan Sya’ban/Ramadhan sebanyak 30 hari. Ini sebagaimana yang terjadi pada awal Syawwal 1434 H. Pada waktu itu, karena mereka tidak bisa melihat hilal dengan mata telanjang, mereka menentukan awal bulan Syawwal 1434 H jatuh pada hari Jum’at (9 Agustus 2013), satu hari setelah ketetapan pemerintah.

d.      Hisab Wujudul Hilal
Metode hisab wujudul hilal ini dipakai oleh kelompok Muhammadiyah. Bagi mereka, dalam menentukan awal bulan Ramadhan/Syawwal tidaklah harus rukyah terlebih dahulu. Tapi cukup dengan melakukan perhitungan (hisab). Bila dari hasil perhitungan diketahui bahwa tinggi hilal sudah lebih dari 0°, maka mereka menentukan bahwa keesokan harinya sudah masuk bulan Ramadhan/Syawwal. Dalam hal ini mereka memakai landasan dalil :
(يونس :5)  هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) (Q.S. Yunus :5) .
Dari ayat ini, mereka menafsiri bahwa bilangan tahun dan waktu dapat diketahui dengan memperhitungkan perjalanan bulan.
Mengenai hadist shumu lirukyatihi, mereka mempunyai penafsiran yang berbeda terhadap apa yang dimaksud dengan rukyah dalam konteks hadist itu. Rukyah di situ tidak diartikan sebagai rukyah bil fi’li, melainkan diartikan sebagai rukyah bil ‘ilmi.
Sebenarnya, hisab (perhitungan) tidak hanya dipakai oleh kelompok Muhammadiyah saja, kelompok yang memakai metode rukyah pun juga melakukan perhitungan (hisab) terlebih dahulu sebelum melakukan rukyat, sehingga mereka mengetahui berapa ketinggian hilal dihitung dari ufuk, dimana posisi hilal, berapa lama hilal di atas ufuk, dsb. Hanya saja di sini hisab tidak dijadikan penentu jatuhnya awal bulan. Hisab hanya dipakai sebagai instrumen yang membantu pelaksanaan rukyatul hilal.
Sementara itu, selama ini fenomena yang terjadi di Indonesia hilal bisa dilihat bila sudah mencapai ketinggian setidaknya 2° lebih. Hal ini menjadi sebuah persoalan tersendiri jikalau ketinggian hilal sudah lebih dari 0° tetapi belum mencapai 2°. Golongan hisab wujudul hilal akan menetapkan keesokan harinya sudah masuk awal Ramadhan/Syawwal namun tidak demikian dengan golongan imkanur rukyah MABIMS yang dalam hal ini dipakai oleh pemerintah. Sehingga akan terjadi perbedaan dalam situasi seperti ini . Sebagaimana yang terjadi pada awal Ramadhan tahun 1433 H (2012 M) dan tahun 1434 H (2013 M). Pada waktu itu, karena pada hari senin (8 Juli 2013) ketinggian hilal sudah mencapai 0° 13’ 36” maka Muhammadiyah menetapkan awal Ramadhan jatuh pada hari Selasa. Sedangkan Pemerintah menetapkannya pada hari Rabu.

e.       Hisab Aboge
Aboge merupakan kepanjangan dari kata alif rabo wage. Maksudnya, pada tahun alif, tanggal 1 Suro (Muharrom) jatuh pada hari rabu wage. Pada dasarnya dalam perhitungan memakai sistem ini, 1 siklus terdapat 8 tahun, yakni tahun alif, ehe, jimawal, je, dal, ba’, wawu dan jimakhir. Cara mengetahui tahun itu jenis dari tahun apa adalah dengan menambahkan tahun hijriyah dengan 512, kemudian dibagi dengan 8, sisanya itulah yang dijadikan patokan dalam menentukan jenis tahun. Bila sisa tahunnya :
0/8 à berarti tahun Ba, yaitu 1 Suro jatuh pada hari Rabu Kliwon;
1 à berarti tahun Wawu, yaitu 1 Suro jatuh pada hari Ahad Wage;
2 à berarti tahun Jim Akhir, yaitu 1 Suro jatuh pada hari Kamis Pon;
3 à berarti tahun Alip, yaitu 1 Suro jatuh pada hari Selasa Pon;
4 à berarti tahun Ehe, yaitu 1 Suro jatuh pada hari Sabtu Pahing;
5 à berarti tahun Jim Awal, yaitu 1 Suro jatuh pada hari Kamis Pahing;
6 à berarti tahun Ye, yaitu 1 suro jatuh pada hari Senin Legi;
7 à berarti tahun Dal, yaitu 1 Suro jatuh pada hari Sabtu Legi.
Karena perhitungan yang dipakai bersifat ‘urfi/aritmatik dan sudah ditentukan banyaknya hari tiap bulannya, yakni 30 hari bila bulannya ganjil dan 29 hari bila bulannya genap, maka terkadang penentuan awal bulan Ramadhan/Syawwal mereka bersamaan dengan pemerintah dan terkadang juga berbeda sebagaimana pada penentuan awal bulan Syawwal 1434 H. Pemerintah menetapkan tanggal 1 Syawwal jatuh pada hari Kamis, sedangkan mereka menetapkannya jatuh pada hari Jum’at (9 Agustus 2013).
Untuk awal Ramadhan 1435 H ini ketetapan awal Ramadhan mereka diperkirakan juga akan berbeda dengan Pemerintah. Pemerintah akan memulainya pada hari Ahad, sedangkan golongan aboge akan memulai puasa pada hari Senin Kliwon (30 Juni 2014). 

f.       Hisab Asapon
Hisab asapon ini merupakan kepanjangan dari kata alif seloso pon. Maksudnya, pada tahun alif, tanggal 1 suro (Muharrom) jatuh pada hari Selasa dengan pasaran pon. Secara garis besar, sistem perhitungan (hisab) yang dipakai oleh golongan asapon tidak jauh berbeda dengan sistem perhitungan yang dipakai oleh Aboge. Hanya saja, bedanya hisab asapon sudah memperhitungkan koreksi pembulatan gerakan bulan, sedangkan aboge tidak.
Pada tahun  ini, diperkirakan golongan asapon akan memulai bulan Ramadhan sama dengan pemerintah. Karena tahun ini merupakan tahun alif yang berarti tanggal 1 suro jatuh pada hari Selasa Pon. Dan bila diurutkan dengan sistem perhitungan ini, awal Ramadhan akan jatuh pada hari Ahad wage (29 Juni 2014).

g.      Imkanur rukyah MABIMS
Imkanur rukyah (kemungkinan hilal bisa dilihat) sebenarnya merupakan metode yang mencoba menggabungkan antara metode rukyah an sich dengan hisab an sich. Imkanur rukyah memperhitungkan kondisi keberadaan hilal yang bisa dilihat, tidak hanya hilal yang sudah ada (wujud). Kriteria yang dipakai dalam menentukan apakah hilal sudah memungkinkan untuk dilihat atau tidak didasarkan pada hasil pengamatan hilal beratus-ratus kali sehingga dapat diformulasikan suatu kriteria. 
Untuk kriteria imkanur rukyah MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura) sendiri, kriteria yang dipakai yakni :
1.      Tinggi hilal minimal 20
2.      Sudut elongasi minimal 30
3.      Umur bulan dihitung dari ijtimak minimal 8 jam.
Jadi, bila tinggi hilal lebih dari 2°, sudut elongasi lebih dari 3° dan umur bulan lebih dari 8 jam, kemungkinan besar hilal pada posisi itu bisa dilihat. Hal ini sebagaimana kesaksian hilal bulan Syawal 1404 H. Pada tanggal 29 Juni 1984, ketinggian hilal 20 dan ijtima’ terjadi pukul 10.18 WIB. Pada saat itu, hilal dapat dilihat oleh:
1.         Muhammad Arief, 33 tahun. Panitera Pengadilan Agama Pare-pare.
2.         Muhadir, 30 tahun. Bendahara Pengadilan Pare-pare.
3.         H. Abdul Hamid, 56 tahun, Guru Agama Jakarta.
4.         H. Abdullah, 61 tahun, Guru Agama Jakarta.
5.         K. Ma’mur, 55 tahun, Guru Agama Sukabumi.
6.         Endang Effendi, 45 tahun, Hakim Agama Sukabumi.
3. Perbedaan dalam memahami  hadis  dan nash Qur’an juga menjadi sebab terjadinya perbedaan penentuan awal bulan.
Hadist shumu lirukyatihi dipahami oleh golongan NU untuk melakukan rukyah bil fi’li dalam satu wilayah hukum. Namun bagi Muhammadiyyah hadist itu dipahami sebagai rukyah bil ‘ilmi. Dan bagi Hizbut Tahrir Indonesia, hadist tersebut dipahami sebagai Rukyah global, yang mana kesaksian melihat hilal di negara manapun bisa dijadikan patokan penentu awal bulan di negara lainnya.

4.    Kran demokrasi di Indonesia yang dibuka terlalu lebar.
Sebelum era reformasi, tidak banyak ditemukan kasus perbedaan awal Ramadhan atau pun Syawwal di Indonesia. Namun, setelah memasuki era reformasi dan memakai sistem demokrasi, banyak terjadi kasus perbedaan penentuan awal Ramadhan/Syawwal. Ini karena setiap individu/kelompok mempunyai kesempatan untuk menentukan awal Ramadhan/Syawwal dengan metodenya sendiri.

Fenomena Awal Ramadhan & Syawwal 1435 H Dari Prespektif Astronomis

            Dari hasil perhitungan untuk awal bulan Ramadhan 1435 H, didapatkan hasil bahwa :
1.      Ijtima’ terjadi pada hari Jum’at Pahing (27 Juni 2014) pukul 15:09:35 WIB,
2.      Tinggi hilal mencapai 0° 2’ 17”,
3.      Kedudukan hilal berada  4° 39’ 39” di sebelah selatan Matahari,
4.      Lama hilal di atas ufuk selama 0° 2’ 32”

Dengan demikian, karena tinggi hilal sudah lebih dari 0° namun belum mencapai 2°, maka kemungkinan besar akan terjadi perbedaan antara ketetapan pemerintah dan Muhammadiyah. Muhammadiyah akan memulai puasa pada hari Sabtu, sedangkan Pemerintah akan memulai puasa pada hari Ahad. Adapun golongan aboge akan memulai puasa pada hari Senin Kliwon (30 Juni 2014).

Pada awal bulan Syawwal 1435 H, berdasarkan hasil perhitungan didapatkan hasil bahwa :
1.                Ijtima’ terjadi pada hari Ahad Pahing, 27 Juli 2014 pukul 05:42:55 WIB,
2.                Tinggi hilal mencapai 3° 2’  27”,
3.                Kedudukan hilal berada 5° 28’ 37” di sebelah selatan Maatahari,
4.                Lama hilal di atas ufuk 0j 16m 42d

1 komentar:

  1. Assalamu’alaikum wr wb salam kenal, saya H Bakri Syam dari pakanbaru riau, setelah saya simak paparan di atas tampaknya perhitungan Islam ABOGE ada persamaan dengan perhitungan rasullulah saw, tetapi ada perbedannya yg saya ketahui diantaranya : 1) tahun 1 bukan huruf Alif tetapi huruf Ha. 2) sebab mulai membilang dari nol. uruf tahu yg ke 7 bukan jin 3 tetapi urufnya Dal 4 . yg mau saya tanyakan ,apa dasar perhitungan / landasannya kok dapat ketetapan seperti itu, dari saya seperti ini :
    ” Telah berkata Rasulullah SAW:
    “Aku lihat dimalam Israk denganku akan sej umlah kalimat di tiang Arasy sebagai berikut : “Allahul Hadi” satu kali, “Hudallah” lima kali, “Jamalul Fi’li” tiga kali, “Zara’allahu Zar’an bilabazrin” tujuh kali, “Dinullah” empat kali, “ Badi ussamawati walArdhi” dua kali, “Wailun liman asha” enam kali
    , “Dinullah” empat kali, “Zara’allahu Zar’an bilabazrin” tujuh kali,“Ba’di’ussamawati” dua kali, “Jamalul fi’li” tiga kali, “Hudallah” lima kali, “Wailun Liman asha” enam kali, “allahul hadi” satu
    kali,“Ba’di’ussamawati” dua kali ,“Dinullah” empat kali,“Hudallah” lima kali, Zara’allahu Zar’an bilabazrin” tujuh kali,“Allahul Hadi” satu kali “Jamalul Fi’li”tiga kali.”
    Berkata Rasulullah SAW:
    “Ambil olehmu awal kalimat yang delapan pertama menjadi huruf Tahun dan awal kalimat yang sebanyak dua belas kedua menjadi huruf Bulan, maka himpunlah huruf tahun dengan huruf bulan, artinya jumlahkanlah, maka mulailah membilang dari hari Rabu atau Kamis , dan dihari mana sampai bilangan, maka hari itu adalah awal bulan itu
    ”, dan Rasulullah SAW berkata:

    “Takwim adalah jalanku, selain puasa Ramadhan”.

    BalasHapus